PERISTIWA RENGASDENGKLOK
PERISTIWA RENGASDENGKLOK
Pada tanggal 15 Agustus
1945 Jepang menyerah kepada sekutu. Dengan menyerahnya Jepang berarti
situasi telah berubah, Jepang tidak lagi memerintah Indonesia tetapi hanya
berfungsi sebagai penjaga “status quo” yakni menjaga situasi dan kondisi
seperti pada masa perang dan melarang adanya perubahan-perubahan di Indonesia.
Kemerdekaan tidak mungkin bisa didapat dari Jepang. Oleh karena itu pada
tanggal 15 Agustus 1945 itu juga para pemuda dipimpin Chaerul Saleh mengadakan
rapat di ruang Laboratorium Mikrologi di Pegangsaan Timur untuk membicarakan
pelaksanaan proklamasi kemerdekaan tanpa bantuan Jepang.
Dalam rapat
tersebut menhasilkan keputusan bahwa :
- Mendesak
Bung Karno dan Bung Hatta agar melepaskan ikatannya dengan
Jepang dan harus bermusyawarah dengan pemuda.
- Mendesak
Bung Karno dan Bung Hatta agar dengan atas nama bangsa Indonesia
memproklamirkan kemerdekaan Indonesia malam itu juga atau paling lambat 16
Agustus 1945.
Keputusan rapat pemuda tersebut disampaikan oleh
Darwis dan Wikana kepada Bung Karno dan Bung Hatta di rumah kediamannya
masing-masing. Akan tetapi Bung Karno dan Bung Hattamenolak dengan alasan
bahwa beliau tidak akan memproklamirkan kemerdekaan tanpa perantara PPKI, sebab
PPKI merupakan wakil-wakil bangsa Indonesia dari Sabang hingga Merauke, sedang
golongan pemuda beranggapan bahwa PPKI merupakan butan Jepang.
Karena tidak ada kata sepakat, hari
itu juga (15 Agustus 1945) dini hari di asrama Baperpi (Kebun Binatang Cikini)
golongan pemuda mengadakan rapat kembali dan mereka sepakat untuk menjauhkan
Bung Karno dan Bung Hatta dari pengaruh Jepang ke luar kota. Pada dini hari
tanggal 16 Agustus 1945 Sukarni, Yusuf Kunto, dan Singgih membawa Bung Karno
dan Bung Hatta ke Rengasdengklok (Kabupaten Karawang) yaitu tempat kedudukan
sebuah Cudan (Kompi) PETAyang dikomandani Cudanco Subeno.
Perisitwa ini baru berakhir setelah
Ahmad Subardjo memberikan jaminan bahwa proklamasi segera dikumandangkan paling
lambat keesokan harinya barulah Cudanco Subeno bersedia melepaskan Bung Karno
dan Bung Hatta. Pada hari itu juga Bung Karno dan Bung Hatta kembali ke
Jakarta.
Dialog
Perdebatan Antara Soekarno-Hatta dengan para pemuda
Tanggal 15
Agustus 1945, kira-kira pukul 22.00, di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, tempat
kediaman Bung Karno, berlangsung perdebatan serius antara sekelompok pemuda
dengan Bung Karno mengenai Proklamasi Kemerdekaan sebagaimana dilukiskan
Lasmidjah Hardi ( 1984:58 ); Ahmad Soebardjo ( 1978:85-87 ) sebagai berikut:
” Sekarang Bung, sekarang!
malam ini juga kita kobarkan revolusi !” kata Chaerul Saleh dengan meyakinkan
Bung Karno bahwa ribuan pasukan bersenjata sudah siap mengepung kota dengan
maksud mengusir tentara Jepang. ” Kita harus segera merebut kekuasaan !” tukas
Sukarni berapi-api. ” Kami sudah siap mempertaruhkan jiwa kami !” seru mereka
bersahutan. Wikana malah berani mengancam Soekarno dengan pernyataan; ” Jika
Bung Karno tidak mengeluarkan pengumuman pada malam ini juga, akan berakibat
terjadinya suatu pertumpahan darah dan pembunuhan besar-besaran esok hari .”
Mendengar kata-kata ancaman
seperti itu, Soekarno naik darah dan berdiri menuju Wikana sambil berkata: ”
Ini batang leherku, seretlah saya ke pojok itu dan potonglah leherku malam ini
juga! Kamu tidak usah menunggu esok hari !”. Hatta kemudian memperingatkan
Wikana; “… Jepang adalah masa silam. Kita sekarang harus menghadapi Belanda
yang akan berusaha untuk kembali menjadi tuan di negeri kita ini. Jika saudara
tidak setuju dengan apa yang telah saya katakan, dan mengira bahwa saudara
telah siap dan sanggup untuk memproklamasikan kemerdekaan, mengapa saudara
tidak memproklamasikan kemerdekaan itu sendiri ? Mengapa meminta Soekarno untuk
melakukan hal itu ?”
Namun, para pemuda terus
mendesak; ” apakah kita harus menunggu hingga kemerdekaan itu diberikan kepada
kita sebagai hadiah, walaupun Jepang sendiri telah menyerah dan telah takluk
dalam ‘Perang Sucinya ‘!”. ” Mengapa bukan rakyat itu sendiri yang memproklamasikan
kemerdekaannya ? Mengapa bukan kita yang menyatakan kemerdekaan kita sendiri,
sebagai suatu bangsa ?”. Dengan lirih, setelah amarahnya reda, Soekarno
berkata; “… kekuatan yang segelintir ini tidak cukup untuk melawan kekuatan
bersenjata dan kesiapan total tentara Jepang! Coba, apa yang bisa kau
perlihatkan kepada saya ? Mana bukti kekuatan yang diperhitungkan itu ? Apa
tindakan bagian keamananmu untuk menyelamatkan perempuan dan anak-anak ?
Bagaimana cara mempertahankan kemerdekaan setelah diproklamasikan ? Kita tidak
akan mendapat bantuan dari Jepang atau Sekutu. Coba bayangkan, bagaimana kita
akan tegak di atas kekuatan sendiri “. Demikian jawab Bung Karno dengan tenang.
Para pemuda,
tetap menuntut agar Soekarno-Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan. Namun,
kedua tokoh itu pun, tetap pada pendiriannya semula. Setelah berulangkali
didesak oleh para pemuda, Bung Karno menjawab bahwa ia tidak bisa memutuskannya
sendiri, ia harus berunding dengan para tokoh lainnya. Utusan pemuda mempersilahkan
Bung Karno untuk berunding. Para tokoh yang hadir pada waktu itu antara lain,
Mohammad Hatta, Soebardjo, Iwa Kusumasomantri, Djojopranoto, dan Sudiro. Tidak
lama kemudian, Hatta menyampaikan keputusan, bahwa usul para pemuda tidak dapat
diterima dengan alasan kurang perhitungan serta kemungkinan timbulnya banyak
korban jiwa dan harta. Mendengar penjelasan Hatta, para pemuda nampak tidak
puas. Mereka mengambil kesimpulan yang menyimpang; menculik Bung Karno dan Bung
Hatta dengan maksud menyingkirkan kedua tokoh itu dari pengaruh Jepang.
Pukul 04.00
dinihari, tanggal 16 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta oleh sekelompok pemuda
dibawa ke Rengasdengklok. Aksi “penculikan” itu sangat mengecewakan Bung Karno,
sebagaimana dikemukakan Lasmidjah Hardi ( 1984:60 ). Bung Karno marah dan
kecewa, terutama karena para pemuda tidak mau mendengarkan pertimbangannya yang
sehat. Mereka menganggap perbuatannya itu sebagai tindakan patriotik. Namun,
melihat keadaan dan situasi yang panas, Bung Karno tidak mempunyai pilihan
lain, kecuali mengikuti kehendak para pemuda untuk dibawa ke tempat yang mereka
tentukan. Fatmawati istrinya, dan Guntur yang pada waktu itu belum berumur satu
tahun, ia ikut sertakan.
Rengasdengklok
kota kecil dekat Karawang dipilih oleh para pemuda untuk mengamankan
Soekarno-Hatta dengan perhitungan militer; antara anggota PETA ( Pembela Tanah
Air ) Daidan Purwakarta dengan Daidan Jakarta telah terjalin hubungan erat
sejak mereka mengadakan latihan bersama-sama. Di samping itu, Rengasdengklok
letaknya terpencil sekitar 15 km. dari Kedunggede Karawang. Dengan demikian,
deteksi dengan mudah dilakukan terhadap setiap gerakan tentara Jepang yang
mendekati Rengasdengklok, baik yang datang dari arah Jakarta maupun dari arah
Bandung atau Jawa Tengah.
Sehari
penuh, Soekarno dan Hatta berada di Rengasdengklok. Maksud para pemuda untuk
menekan mereka, supaya segera melaksanakan Proklamasi Kemerdekaan terlepas dari
segala kaitan dengan Jepang, rupa-rupanya tidak membuahkan hasil. Agaknya
keduanya memiliki wibawa yang cukup besar. Para pemuda yang membawanya ke
Rengasdengklok, segan untuk melakukan penekanan terhadap keduanya. Sukarni dan
kawan-kawannya, hanya dapat mendesak Soekarno-Hatta untuk menyatakan proklamasi
secepatnya seperti yang telah direncanakan oleh para pemuda di Jakarta . Akan
tetapi, Soekarno-Hatta tidak mau didesak begitu saja. Keduanya, tetap berpegang
teguh pada perhitungan dan rencana mereka sendiri. Di sebuah pondok bambu
berbentuk panggung di tengah persawahan Rengasdengklok, siang itu terjadi
perdebatan panas; ” Revolusi berada di tangan kami sekarang dan kami
memerintahkan Bung, kalau Bung tidak memulai revolusi malam ini, lalu …”. ”
Lalu apa ?” teriak Bung Karno sambil beranjak dari kursinya, dengan kemarahan
yang menyala-nyala. Semua terkejut, tidak seorang pun yang bergerak atau
berbicara.
Waktu
suasana tenang kembali. Setelah Bung Karno duduk. Dengan suara rendah ia mulai
berbicara; ” Yang paling penting di dalam peperangan dan revolusi adalah
saatnya yang tepat. Di Saigon, saya sudah merencanakan seluruh pekerjaan ini
untuk dijalankan tanggal 17 “. ” Mengapa justru diambil tanggal 17, mengapa
tidak sekarang saja, atau tanggal 16 ?” tanya Sukarni. ” Saya seorang yang
percaya pada mistik”. Saya tidak dapat menerangkan dengan pertimbangan akal,
mengapa tanggal 17 lebih memberi harapan kepadaku. Akan tetapi saya merasakan
di dalam kalbuku, bahwa itu adalah saat yang baik. Angka 17 adalah angka suci.
Pertama-tama kita sedang berada dalam bulan suci Ramadhan, waktu kita semua
berpuasa, ini berarti saat yang paling suci bagi kita. tanggal 17 besok hari
Jumat, hari Jumat itu Jumat legi, Jumat yang berbahagia, Jumat suci. Al-Qur’an
diturunkan tanggal 17, orang Islam sembahyang 17 rakaat, oleh karena itu
kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia “. Demikianlah antara lain dialog
antara Bung Karno dengan para pemuda di Rengasdengklok sebagaimana ditulis
Lasmidjah Hardi ( 1984:61 ).
Sementara
itu, di Jakarta, antara Mr. Ahmad Soebardjo dari golongan tua dengan Wikana
dari golongan muda membicarakan kemerdekaan yang harus dilaksanakan di Jakarta
. Laksamana Tadashi Maeda, bersedia untuk menjamin keselamatan mereka selama
berada di rumahnya. Berdasarkan kesepakatan itu, Jusuf Kunto dari pihak pemuda,
hari itu juga mengantar Ahmad Soebardjo bersama sekretaris pribadinya, Sudiro,
ke Rengasdengklok untuk menjemput Soekarno dan Hatta. Rombongan penjemput tiba
di Rengasdengklok sekitar pukul 17.00. Ahmad Soebardjo memberikan jaminan,
bahwa Proklamasi Kemerdekaan akan diumumkan pada tanggal 17 Agustus 1945, selambat-lambatnya
pukul 12.00. Dengan jaminan itu, komandan kompi PETA setempat, Cudanco Soebeno,
bersedia melepaskan Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta ( Marwati Djoened
Poesponegoro, ed. 1984:82-83 ).
Tidak ada komentar